Oregairu Anthology On Parade Part 1

 

Lagipula Yang Kubutuhkan Hanyalah Seorang Adik Perempuan
Watari Wataru




PART 1

Angin memukul jendela-jendela yang berbaris di koridor

Saat aku berjalan ke ruang klub, langkahku terhenti ketika aku melirik keluar jendela. Bunga sakura yang telat mekar sedang berdansa dengan angin, seperti mengucapkan ‘selamat tinggal’ pada musim semi.

Pertengahan bulan April sudah terlewati, sudah waktunya masuk musim angin beraroma bunga.

Segera, musim semi terakhirku di SMA akan berakhir. Tidak, ini akan jadi akhri dari banyak hal. Kelulusan sekolahku tinggal kurang dari setahun dari sekarang.

Ujian masuk Universitasku tiba dalam kurang dari 10 bulan dari sekarang. Kalau ujian masuk universitas biasa, hanya tinggal 9 bulan lagi. Oh, apa-apaan ini, ini gawat. Hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa, ya kan? Ini sangat gawat.

Kalau soal ujian, itu sudah terlambat kalau kau tidak belajar.

Aku tau kalau aku harus mulai belajar sekarang, tapi kenapa tubuhku tidak bisa diajak bekerja sama? Heh, tak peduli apapun yang aku bicarakan, tubuhku tetap paling jujur. Menyebalkan!

Tapi, tak peduli betapa egoisnya tubuh, diriku sendiri orang yang lumayan jujur. Memulai belajar itu butuh usaha yang besar, tentu ada beberapa persiapan yang diperlukan.

Jadi sepulang sekolah, aku mampir ke Ruang Bimbingan Karir dan mengumpulkan beberapa pamflet tempat les sebelum menuju ke ruangan klub.

Pokoknya, aktifitas klub sepertinya hanya sekedar nongkrong tanpa tujuan yang jelas. Ada banyak waktu untuk merenung. Cara yang sangat ideal untuk membunuh waktu... Bukankah seharusnya aku menggunakannya untuk belajar.

Untuk sesaat,  pikiran yang lumayan itu terlintas di kepalaku. Mengguncangkannya, lalu menempatkan tanganku di pintu ruang klub.

Pintu berdecit ketika terbuka, dan adegan yang familiar menyapaku.

Yukinoshita dengan anggun menuang teh hitam, Yuigahama menyajikan cemilan ke piring. Dan yang duduk di seberang mereka, Isshiki, yang bahkan bukan anggota klub ini, mengistirahatkan dagunya di tangannya sambil bermain dengan smartphonenya. Kehadirannya itu tidak teratur, tapi masih dapat dimaklumi.

Yang berbeda hanyalah adikku, Hikigaya Komachi yang ada disebelah Isshiki.

Komachi, mengenakan seragam yang masih baru, sedang memgelap meja seraya bersenandung, meletakkan gelas plastik  bersamaan dengan cangkirnya Yukinoshita dan Yuigahama. Aktifitasnya memberikan kesan yang bagus.

Rupanya, Klub Relawan beroperasi dibawah kepemimpinan yang baru. Sepertinya, aroma teh hitam akan terwariskan, dan Komachilah yang akan menuangkannya. Ya itu sih oke saja, tapi apa yang Isshiki lakukan disini? Pelanggan minum teh?

Suara pintu geser disadari oleh Isshiki.

“Ah, senpai. Kamu telat!”

Dia cemberut dan menggembungkan pipinya, yang mana aku balas dengan anggukan malas dan meminta maaf, sebelum aku menuju ke kursiku yang biasanya.

“Hikki, yahhalo.”

“Selamat sore.”

Yuigahama sedikit melambaikan tangannya, sementara Yukinoshita menuangkan teh hitam ke cangkirku.

Aku membalas salam mereka dengan terimakasih yang pendek dan menarik kursiku.

Yukinoshita baru akan meletakkan cangkir teh di depanku, dengan uap hangat yang berhembus darinya, lalu tiba-tiba;

“Ah, tolong tunggu sebentar, Yukinoshita-san.”

“Eh? A-Ada apa?”

Karena tiba-tiba dihentikan,  Yukinoshita yang kebingungan ditangkap oleh Komachi dengan senyum tipis.

“Kau tau, itu terlalu awal untuk Kakakku.

“Begitu, benar sekali, mungkin sulit bagi Hikigaya-kun untuk mengapresiasi rasa dan aroma teh hitam.. Dan lagi, komentar dari satu orang saja bisa membuat kualitas teh hitam jadi merosot.”

Sambil dia berbicara, mata Yukinoshita melirik ke bungkus teh hitam.

“Ya... mau bagaimanapun, kakakku malah membuat impresi seperti mereasakan teh murahan.”

Komachi terlihat kerepotan seperti mengatakan “Yukinoshita-san memang hebat”. Ya jujur saja, aku benar-benar tidak bisa membedakan rasa teh hitam. Jadi, komentar Yukinoshita itu tidak salah.

“ ... bukan soal rasanya, tapi temperaturnya.”

“ Temperaturnya... ah!”

Yuigahama bingung untuk sebentar sebelum berseru. Yukinoshita juga mengangguk mengerti.

“Oh begitu, dia punya lidah kucing.’

“Kalian berdua benar! Don don pafun pafun!

Komachi bertepuk tangan sambil tersenyum dengan sangat manis, sebelum tiba-tiba serius dan mengibaskan jarinya.

“Kebanyakan anggota keluarga kami punya lidah kucing, jadi teh yang hangat kuku itu biasa di kediaman kami. Sebagai tambahan, teh hitam lebih disukai dengan cemilan yang manis. Bisa mengingat hal ini akan mendapat poin Komachi yang tinggi.”

“A-Aku mengerti. Akan saya pertimbangkan mulai sekarang. Tidak, akan saya ingat.”

“Kenapa tiba-tiba kamu jadi bersikap formal?! Tapi aku juga agak paham.”

Yukinoshita menggenggam nampan di dadanya sambil membungkuk hormat, sementara Yuigahama meluruskan punggungnya dengan cepat. Dengan kontras, Isshiki yang duduk diseberang mereka, agak mundur.

“Ini gawat Okome-chan, atau adik ipar? Hal seperti itu sangat merepotkan, jadi aku agak membencinya...”

“ Hmmmph. Yah, itu enggak benar benar penting apa kamu ingat atau tidak, Iroha –senpai? Secara pribadi aku tidak pilih-pilih kalau teh botol, apapun mereknya boleh saja. Bukankah itu bagus?!”

“Tidak, aku masih bisa merebus teh kok. Ah, Yukinoshita-senpai, apa masih ada air panas? Aku ingin memberikan ke Okome-chan untuk diminum.”

“Itu air yang baru mendidih! Komachi ounya lidah kucing, jadi tolong hentikan!”

Komachi dengan putus asa coba menghentikan Isshiki yang ingin meraih ketel.

Aku meraih cangir yang masih beruap, sambil melirik pertengkaran yang sedang terjadi.

Tak apa kalau teh nya masih panas atau tidak, yang penting ada cemilan yang menemaninya.

Rumah adalah rumah, ruang klub adalah ruang klub. Ada rasa tersendiri yang ada disini dan tidak ditemukan di tempat yang lain.

Aku meniup uap teh sedikit demi sedikit,  dan mengunyah cemilannya.

“Ya, ini enak. Baik teh dan cemilannya enak, semuanya enak.”

Yukinoshita dan Yuigahama melihat satu sama lain dan tersenyum setelah mendengar omelanku.

“... Kalau semuanya enak, itu akan jadi masalah.”

“Benar sekali.”

Keduanya berbalas senyumdan tertawa, sementara dua lainnya yang ada di depan mera mulai berbisik satu sama lain.

“Itu dia, kebusukan itu...”

“Yah, kakakku selalu seperti itu...”

Meskipun baru beberapa saat lalu mereka bertengkar, mereka sekarang berbaikan dan saling merapat dan berbisik ke telinga masing-masing untuk diskusi tersembungi, sebelum mengirimkan tatapan yang dingin kepadaku. Hal itu sangat tidak nyaman jadi aku memutuskan untuk membuka pamflet tempat les seperti orang tua jaman Showa yang sedang membaca koran.

“Hikki, itu apa?”

“Tadi aku dapat di ruang bimbingan karir, mau lihat?”

Aku menyerahkan beberapa pamflet ke Yugahama, yang memberiku tatapan kosong. Dia mulaimenyebarkannya di meja. Dengan Yukinoshita yang mengintip di sebelahnya, aku menatap ke pamfletnya.

Jaman sekarang, amflet semacam ini sudah tersedia di web. Tapi lebih mudah dengan yang fisik untuk membandingkan satu sama lain.

Terlebih lagi, Isshiki dan Komachi mendongak dari sisi berlawanan untuk melihat mereka juga. Jadi aku menyebarkannya ke tengah meja. Sambil melirik pamflet, Isshiki membuat bunyi yang aneh.

“Begitu ya, sudah waktunya untuk diskusi Ujian Masuk. Itu merepotkan, ya kan?”

“Ini mah bukan masalahmu. Giliranmu untuk khawatir masih ada di tahun depan.”

Saat aku mengucapkannya, suara yang sedih bisa didengar dari sisiku.

“Itu benar. Aku sangat khawatir.”

Yuigahama semakin menunduk begitu dia membaca lebih banyak pamflet, sebelun menghembuskan Keluh yang dalam.

“... Aku tidak tau harus masuk kemana.”

“Betapa depresinya...”

Yuigahama memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, aku hanya fokus melewati unjian masuk pilihan pertamaku.

Yukinoshita dengan lembut mengawasi Yuigahama yang cemas sambil membandingkan pamflet.

“Pilihanmu pada Universitas tidak serta-merta berhubungan dengan karirmu kedepan, jadi tak masalah kalau masih bingung.”

“Iya juga sih... tapi aku masih tak bisa berhenti memikirkannya.”

Yuigahama menguap sambil membeluk Yukinoshita, yang membuatnya bergumam “Terlalu dekat...” sambil mengetik di laptop.

“Yang  pertama, ayo mulai dengan memili Universitas yang ingin dimasuki Yuigahama-san.”

Yukinoshita dan Yuigahama berpelukan dan melihat daftar Universitas dengan tanpa tujuan. Komachi melihat mereka dengan kepuasan dan beralih ke Isshiki.

“Iroha-senpai, apa ada Universitas yang ingin kamu masuki?”

“Hmmm... mungkin Universitas terkenal? Seperti Ahogaku, Jouchi, Rikkyou , atau  semacamnya?” (kata-kata ramdom yang terdengar seperti nama universitas)

“Wow, itu hebat! Kamu mungkin tidak pintar, tapi membidik Universitas kelas atas.”

“Huh? Tak peduli apa kamu belajar atau tidak untuk ujian masuk, atau betapa pintarnya kamu, itu tidak penting. Toh, yang paling penting itu seberapa rapi dan seberapa imutnya kamu.”

“B-Begitu... Komachi entah kenapa mengerti Iroha-senpai. Selama ini, kupikir kamu orang yang payah.”

Kata-kata jujur dari Isshiki membuat Komachi gugup ketakutan. Bahkan aku juga agak takut. Yah, kalau dipikir-pikir., apa yang Isshiki katakan tidak jauh berbeda dari yang sebenarnya. Irohasu, gambaran sempurna yang kau tampilkan itu patut dipertanyakan.

Setiap aku pergi ke Family Mart, aku penasaran apa aku harus pergi ke Universitas Teikyou Heisei, dan mendapatkan sertifikat dari kamp pelatihan yang bersertifikat WAO!!... Tidak, beneran, ikaln mereka itu murni earworm, dan mereka sudah tertertempel di kepalaku sampai level di bawah kesadaranku.

Sementara itu, ada orang lain yang rupanya juga sudah dicuci otak.

“Chimeido, Universitas Yuumeido (kata-kata yang lebih random ), fashinable...”

“Yuigahama-san, jangan bingung. Ayo buat keputusan. Berhenti mencoba untuk membuat kata yang tidak kau mengerti. Kamu membuatku sangat gugup.”

Yukinoshita menjauhkan laptop dari Yuigahama dan memberikannya padaku. Baiklah, kerja bagus, Yukinoshita. Karena Yuigahama dan aku semakin bimbang, aku akan menutup tab yang aktif dengan segera.

Isshiki cemberut setelah dimarahi karena akan nimbrung ke obrolan, lalu batuk dengan dibuat-buat. Komachi memberi segelas air kepadanya.

“Bagaimana denganu, Okome-chan, ada Universitas yang ingin kamu tuju?”

“Yah... kukira aku akan gagal...”

Komaci tersenyjm dan berpose dengan berani. Dihadapkan dengan deklarasinya yang kuat, bahuku jatuh. Pokoknya, suatu kewajiban bagi yang lebih muda untuk belajar dari kesalahan yang lebih tua. Ayo buat kegagalan yang membawa manfaat di masa depan.

“Tak apa, Komachi masih ada banyak waktu untuk melakukannya...”

Yuigahama dan Yukinoshita mengagguk setuju.

“Yep, masih ada beberapa tahun untuk bermain main, Komachi-chan.”

“Kupikir menyemangatinya untuk mulai belajar dari sekarang itu ide yang bagus.”, kata Yukinoshita sambil menhembus dengan lelah.

“Nah itu untuk Komachi, bagaimana dengan Isshiki? Apa kamu tak apa, soal nilai dan semacamnya?”

“Aku? Kau tau... Aku menargetkan rekomendasi dari sekolah...”

“Oh, rekomendasi. Itu hebat!”

Sambil Komachi bertepuk tangan dengan kagum dan memujinya, Isshiki menggembungkan pipinya dengan bangga.

FufU, aku tidak menjadi Ketua OSIS untuk hal yang sia-sia. Apa kamu juga menargetkan rekomendasi, Okome-chan? Kamu kan bukan murid yang pintar.”

“Urgh. Orang ini sangat tidak menyenangkan... tapi ‘rekomendasi sekolah’ itu terdengar menjanjikan. Komachi sudah memutuskan untuk menargetkan posisi Ketua OSIS dengan memenangkan pemilihan tahun ini.”

“Haha, aku takkan menyerahkan posisi ini.”

“Pemilihan tahun ini akan sangat menarik, ufufu.”

Isshiki tertawa dengan rendah diri, yang dibalas Komachi dengan tawa yang manis dan penuh arti. Konfrontasi ini hampir berakhir dengan sunyi, ketika senyum Isshiki tiba-tiba menghilang.

“Tunggu sebentar, ini bukan lagi pemilihan, ya kan? Kalau kalian semua mendukung Okome-chan, itu akan sangat menghancurkan hatiku...”

“Jadi bagaimana, Onii-chan?”

“Apa yang akan kau lakukan, Senpai?”

Komachi memanggilku dengan suaranya yang manis dan senyumnya yang lebih manis, sementara itu Isshiki dengan suaranya yang gemetar dan matanya yang melebar.

“Onii-chan~”

Suara polos komachi dan matanya yang mohon bersinar dengan cahaya yang brilian, serta mememenuhiku dengan keyakikan.

“Sen... pai...”

Suara gemetar Isshiki dengan nafas panasnya, bulatannya, bibir yang berbentuk bagus, dan matanya yang melebar dan lembab. Jemarinya yang gemetar dan gemulai menggenggam dada seragamnya dengan erat sambil berfoa.

Perasaan yang berat menyerbu dari sebelahku, saat Adik dan kohaiku berpose dengan diam “Kamu pilih siapa?”. Tetapi, aku merasa berbeda, lebih sedikit rasa gemas, tekanan datang dari sisi meja yang berlawanan.

Aku mengintip ke Yukinoshita dan Yuigahama, yang sedang menatapku dengan apatis.

“...”

Bisakah kalian hentikan perlakuan ini? Bahkan patung salju di Sapporo Snow Festival tidak memberikan tatapan sedingin ini.

Aku tau kalau jawabanku tak akan memuaskan dan tak berarti, jadi aku membuat tawa garing.

“Ahaha...”

Apa satu detik sudah terlewati? Atau sudah dua detik? Atau mungkin keabadian sudah berlalu?

Dalam kehampaan, kegilaan dan ketenangan menghancurkan satu sama lain, dan semuanya kan berakhir.

Setelah sekian lama, terdengar suara ketukan pintu di ruang klub.

-Bersambung...

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url