Oregairu Volume 1 Chapter 1-1

Oregairu Volume 1 Chapter 1 - 1


Guru bahasa Jepang ku, Shizuka Hiratsuka, mengeluarkan nada tinggi saat dia membaca esai ku dengan keras. Ketika aku mendengarnya, aku menyadari bahwa keterampilan menulisku jauh dari mahir. Kupikir aku mungkin tampak pintar kalau aku merangkai beberapa kata yang indah, tetapi itu seperti taktik murahan yang akan dipikirkan oleh beberapa penulis yang sedang berjuang untuk diterima penerbit.

 Oh iya, apa keamatiranku adalah alasan kenapa aku dipanggil kemari? Ah pasti tidak. Aku sudah tau itu. Setelah Hiratsuka-sensei selesai membaca, dia menaruh tangannya di dahu, dan mendesah dengan dalam,

 “Hey, Hikigaya, apa tugas yang aku beri waktu di kelas?”

 “...ya, esai dengan topik ‘Melihat Kembali Kehidupan SMA’.”

 “Benar. Lalu kenapa kau malah menulis surat ancaman? Apa kau teroris? Atau mungkin, kau ini idiot?”

 Dia mengeluarkan desahan lagi, dongkol (vexed).

Kalu dipikir-pikir, memanggil beliau dengan sebutan ‘Nyonya’ terdengar lebih er*tis daripada ‘Bu Guru’. Kemudian, tepat saat aku menyeringai pada diriku sendiri sambil memikirkan hal-hal itu, seikat kertas menghantam kepalaku.

 “Perhatikan!”

 “Baik.”

 “Matamu, mereka seperti mata ikan busuk.”

 “Apa mata Saya seperti mengandung omega-3? Membuatku terdengar pintar.”

 Kedua sudut mulutnya terangkat.

 “Hikigaya. Ada apa dengan esai hambar ini? Setidaknya aku ingin mendengar alasanmu.”

Matanya berkilat, menembakkan belati ke arahku, dengan ekspresi yang cukup mematikan hingga mengeluarkan efek suara. Hanya seorang wanita yang dikutuk oleh kecantikan yang mampu menunjukkan ekspresi yang sangat kuat sehingga dengan enggan akan menarikmu masuk dan benar-benar membuatmu kewalahan. Artinya, itu sangat menakutkan.

 “Eh-Yah-aku... itu memang merenungkan kehidupan SMA, bukan? Saat ini kehidupan SMA seperti ini sangat, Anda tahu! Esaiku cukup dekat dengan itu!”

Aku terus meraba-raba kata-kataku. Aku gugup hanya dengan berbicara dengan orang, tetapi berbicara dengan wanita yang lebih tua membuatku semakin gugup.

 “Biasanya, tugas seperti itu mengharuskanmu untuk merenungkan pengalamanmu sendiri, tidakkah begitu menurutmu?”

 “Kalau begitu tolong katakan lebih awal. Jadi au akan menulis esai sebagaimana mestinya. Bukankah itu salahmu karena menulis tugas yang menyesatkan, sensei?”
 
“Oh, jangan bertele-tele, bocah.”

 “Bocah...? Yah tentu saja dari sudut pandang seseorang seusia Anda, saya masih kecil.”

 Ada semburan angin. Itu adalah tinju. Sebuah tinju yang dilepaskan tanpa indikasi pergerakan apapun. Dan jika itu tidak cukup, itu adalah tinju yang mengesankan dan hanya menyerempet sisi pipiku.

 “Yang berikutnya tidak akan meleset.” Matanya serius.

 “Saya sangat menyesal. Saya akan menulisnya lagi.”

Untuk menunjukkan penyesalan, aku harus memilih kalimat dengan bijak. Tapi sekarang, dari semua hal yang Hiratsuka sensei miliki, puas bukanlah salah satunya. Sepertinya tidak ada cara lain selain berlutut dan bersujud di kakinya.

Aku mencoba untuk menghilangkan lipatan dari celana, dan saat aku merapikannya, kaki kananku tertekuk ke bawah dan menempel di lantai. Sebuah gerakan yang sempurna dan cepat.

 “Kau tahu, aku tidak marah padamu.”

 ...Oh, jadi begini. Hal menyebalkan yang selalu mereka lakukan. Hal ‘Aku tidak marah, jadi tolong katakan padaku’. Aku belum pernah melihat seseorang yang mengatakan bahwa mereka tidak marah. Anehnya, dia benar-benar tidak marah. Yah, tidak termasuk saat aku menyebutkan usianya.
 
 Aku diam-diam mengamati reaksinya saat aku mengangkat lutut kananku dari lantai.

 Dari saku dada yang hampir meledak itu, Hiratsuka sensei mengeluarkan Seven Stars dan mengetuk filternya dengan keras ke mejanya. Persis seperti yang dilakukan seorang pria tua. Setelah mengeluarkan rokok, dia menyalakan korek api 100 yen dan menyalakan rokoknya. Dia melihat dan menatapku dengan ekspresi serius di wajahnya.
 
“Kamu tidak di klub mana pun, kan?”
 
“Iya.”

 “...Apa kau punya teman?”


Dia bertanya padaku seolah dia sudah mengira aku tidak punya.

 “Yah, saya ingin Anda tahu bahwa saya hidup berdasarkan ketidakberpihakan, dan karena itu, saya tidak dapat memiliki hubungan yang sangat intim dengan orang-orang!”

 “Dengan kata lain, kamu tidak punya, kan?”

 “Y-yah, pada dasarnya...”

 Seolah-olah dia tahu bagaimana aku akan menjawab, wajah Hiratsuka sensei dipenuhi dengan kegembiraan.

 “Jadi begitu! Kau benar-benar tidak punya teman! Persis seperti yang aku duga. Lihat saja mata tak bernyawa itu dan aku langsung tahu!"

 Jadi Anda mengetahuinya hanya dengan melihat mata saya? Kalau begitu, jangan repot-repot bertanya!

 Dia menganggukkan kepalanya dengan sadar dengan 'mhmm...ya' dan menganggapku dengan ekspresi pendiam.
 
“..............Bagaimana dengan pacar atau semacamnya?”

 Ada apa dengan 'semacamnya'? Apa yang akan anda lakukan jika aku bilang aku punya pacar?

“Yah, aku tidak punya satu sekarang...”

 Mempertimbangkan harapan untuk masa depan, aku menekankan 'sekarang', untuk berjaga-jaga.

 "Oh begitu..."

 Kali ini dia menatapku intens, dengan mata berkabut.  Aku sangat berharap itu karena asap rokok yang mengganggu matanya.

 Hei, hentikan itu.  Jangan kasihani aku dengan tatapan lembut itu.

 Bagaimanapun, kemana arah dari semua pertanyaan ini? Apa Hiratsuka sensei salah satu guru yang antusias itu?

 Apa ia akan berbicara tentang bagaimana aku menjadi satu apel busuk yang merusak semua apel di tong, segera?

 Mungkin dia dulunya adalah anak putus sekolah yang nakal, yang kembali ke SMA lamanya untuk menjadi guru?

 ...Serius, tidak bisakah dia kembali saja kesana?

Setelah beberapa pertimbangan, Hiratsuka sensei menghela nafas sambil menghembuskan asap.
 
“Baiklah, mari kita lakukan dengan cara ini. Tulis ulang laporanmu.”

 “Iya.”

 Dan aku pasti akan melakukannya.

 Baiklah, kali ini aku akan menulis komposisi yang sangat tepat dan tidak menyinggung.  Sama seperti blog idola gravure dan aktris suara.

 Sesuatu seperti: Makan malam hari ini adalah……kari!

 Ada apa dengan menggunakan 'adalah'?  Tidak ada dari kata itu yang menambah kejutan dalam hal makan kari.

 Sampai saat ini semuanya berjalan seperti yang aku harapkan.  Tapi apa yang terjadi setelah ini lebih dari yang aku bayangkan.

 “Namun, fakta bahwa kata-kata dan perilakumu yang tidak berperasaan telah menyakiti perasaanku. Apa kau tidak pernah diajarkan untuk tidak berbicara dengan seorang wanita tentang usianya? Akibatnya, kau diharuskan bergabung dengan klub servis. Bagaimanapun, yang salah tetap harus dihukum.”

Dia tidak tampak sangat terluka, begitu banyak sehingga dia terdengar memerintah. Sebaliknya, dia lebih bersemangat dari biasanya, berbicara dengan cara yang ceria.
 Dengan mengatakan itu, kata perky secara tidak sengaja mengingatkanku pada sesuatu yang lain... mataku teralihkan dari kenyataan dan akhirnya menetap di payudara sensei yang mendorong ke atas dari bawah blusnya.
 Tercela...Tapi, orang macam apa yang senang memberikan hukuman?

 “Klub servis... Apa yang saya lakukan di sana?” Aku dengan takut-takut bertanya.

Aku merasa mereka sangat mungkin memintaku untuk membersihkan selokan atau bahkan lebih buruk, menculik orang.
 
“Ikuti saja aku.”
 
Hiratsuka sensei menekan ujung rokoknya ke asbak yang terisi penuh dan  berdiri. Sementara aku tetap terpaku di tempat karena tidak memiliki penjelasan aas apa yang dia usulkan, sensei yang sudah di pintu, melihat kembali padaku.

 “Oi, cepatlah.”

 Dengan alis yang merajut dan cemberut di wajah, aku mengikutinya.

***


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url