Oregairu Volume 1 Chapter 1-5 Bahasa Indonesia
“Yukinoshita, aku masuk.”
“Bukankah sudah saya beritahu untuk mengetuk pintu dahulu...”
Yukinoshita tampaknya sudah menyerah untuk memberitahunya.
“Maaf, maaf. Tidak usah pedulikan diriku, lanjutkan saja kegiatanmu. Aku sempat berpikir untuk mampir dan melihat bagaimana situasi kalian.”
Sensei tersenyum ke Yukinoshita dan menyandar ke tembok ruangan ini. Dia lalu melihat ke arahku dan Yukinoshita.
“Sangat menyenangkan melihat kalian berdua bisa akur.”
Apa-apaan kesimpulannya itu?
“Hikigaya, teruskan usahamu untuk menghilangkan temperamen sinismu itu dan sembuhkan mata busukmu itu. Aku akan pulang dulu. Jangan lupa kalian pulang sebelum jam tutup sekolah.”
“Tu-tunggu dulu!”
Aku lalu memegang tangan sensei untuk menghentikannya. Tapi, yang terjadi...
“Ow! Owwwww! Aku menyerah! Aku menyerah!”
Dia langsung mengunci tanganku dengan sebuah kuncian lengan dalam beladiri. Setelah aku menepuk-nepuk tangannya agar melepaskanku, dia akhirnya melepaskanku.
“Oh, ternyata itu kau, Hikigaya. Jangan tiba-tiba berada di belakangku karena aku bisa tidak sengaja mengeluarkan jurus beladiriku kepadamu.”
“Anda ini sebenarnya siapa? Golgo? Lagipula, bukankah anda yang sebenarnya main tiba-tiba? Anda yang melakukannya tiba-tiba!” [note: Golgo adalah seorang tokoh assassin di manga Golgo13.]
“Apa kau mau minta lagi?...Ngomong-ngomong, ada masalah apa?”
“Masalahnya ya anda ini...Apa maksud anda mengatakan menghilangkan sifatku? Bukankah itu sama saja dengan membuatku terlihat seperti anak muda yang bermasalah? Jadi ini semua tentang apa?”
Sensei lalu menggaruk-garuk dagunya seperti memikirkan sesuatu. “Bukankah Yukinoshita sudah menjelaskannya kepadamu? Sebenarnya, tujuan klub ini adalah membantu orang menyelesaikan masalah mereka dengan membuat mereka sendiri berkembang. Aku akan mengarahkan para siswa yang membutuhkan pengembangan diri mereka di kelas konseling ke klub ini. Kau bisa menganggap klub ini adalah tempat latihan ruang dan waktu di Dragon Ball, atau mungkin Revolutionary Girl Utena, kalau itu bisa membuatmu mengerti dengan cepat.”
“Itu bahkan membuatku sulit untuk mengerti, malahan itu tadi sudah menggambarkan seberapa tua anda.”
“Bisa kau ulangi lagi?”
“...Oh tidak ada apa-apa.” Aku mencoba kabur dari tatapan dinginnya.
“Yukinoshita. Tampaknya kau sedikit kesulitan untuk ‘menyembuhhkannya’.”
“Itu karena dia tidak mau mengakui fakta kalau dirinya sendiri punya masalah.” Yukinoshita menjawab itu dengan dingin.
...Perasaan ini...Aku tidak tahan untuk berdiri disini. Ini mirip ketika orangtuaku menemukan buku porno di laciku ketika aku kelas 6 SD dan sampai sekarang masih saja menceramahiku.
Tidak, kurasa tidak seburuk itu.
“Umm...Kalian dari tadi mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal seperti akan membenahiku-lah, membuatku berkembang-lah, reformasi-lah, revolusi mengobrol dengan gadis-lah, dan lain-lain. Tapi, aku sendiri tidak pernah memintanya...”
Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya sambil berkata “Hmm?”
“...Apa yang kau katakan? Kalau kau tidak berubah, kau akan berada di level yang akan membuatmu hidup di sosial sekitar menjadi semakin berat.”
Yukinoshita memandangku sambil memberikan arguman yang sejenis dengan ‘Perang itu tidak ada gunanya. Turunkan senjatamu!’.
“Kau tahu tidak, rasa kemanusiaanmu itu sangat berbeda dari yang lainnya. Apa kau tidak ingin merubah itu?”
“Bukan itu intinya...Aku ini tidak ingin seorangpun menodongkan tombak kepadaku dan memintaku berubah. Mendikteku untuk menjadi seperti apa. Sebenarnya, mengubah dirimu agar sesuai dengan dunia atau orang lain bukankah berarti kau sudah tidak menjadi dirimu sendiri? Apa itu yang kalian sebut dengan menjadi diri sendiri?”
“Dirimu sendiri adalah hal yang tidak bisa kau lihat oleh dirimu sendiri secara objektif.”
Kata-kataku yang mengagumkan tadi mengutip kata-kata Descartes dan dipotong oleh Yukinoshita ...Meski begitu, kata-kataku selanjutnya adalah kata-kata yang cukup bagus.
“Kau hanya melarikan diri dari masalah. Kalau kau tidak berubah, kau tidak akan bisa maju ke depan.”
Yukinoshita mengatakan itu, memotongku dengan kata-kata kasarnya. Kenapa dia selalu berseberangan dan mengatakan hal-hal yang tajam kepadaku? Apa orang tuanya kepiting atau semacamnya?
“Memangnya salah kalau lari? Jangan terus memberitahuku untuk berubah seperti aku ini hanyalah idiot yang tahu satu hal. Kalau kau seperti itu maka yang kau lakukan itu seperti berkata ke matahari,
‘Tenggelam di barat itu sudah sangat mengganggu, jadi tolong mulai besok tenggelamlah di timur’.”
“Itu keliru. Tolong jangan mengalihkan topiknya. Matahari itu tidak bergerak, tapi bumi yang bergerak. Apa kamu tidak tahu teori heliosentris?”
“Itulah yang mau kukatakan! Kalau itu keliru, maka yang kau katakan juga keliru. Dengan berubah, pada akhirnya aku akan berubah hanya agar bisa lari dari masalah. Jadi, siapa yang sebenarnya lari dari masalah? Jika aku tidak lari dari masalah, maka aku tidak akan berubah dan berdiri di tempat dimana aku berada kini. Kenapa kau tidak terima saja masa lalu dan diriku yang sekarang?”
“...Kalau begitu, itu tidak akan menyelesaikan satupun masalah ataupun menyelamatkan seseorang.”
Ketika Yukinoshita mengatakan kata ‘menyelamatkan’, ekspresinya seperti diliputi amarah yang luar biasa. Aku bersedia meminta maaf karena mengatakan hal-hal tidak jelas sehingga membuatnya emosi dengan mengatakan ‘ma-maaf’ jika itu bisa mendinginkannya. Berbicara tentang penebusan dosa, ini bukanlah hal yang sepatutnya dikatakan siswa SMA. Aku hanya tidak mengerti mengapa dia bisa menjadi emosi seperti itu.
“Kalian berdua tenang dulu.”
Hiratsuka-sensei mengatakan itu dengan santai, dan menjadikan kata-katanya itu sendiri sebagai faktor yang membuat suasana ini tidak menyenangkan.
“Ternyata ini berkembang menjadi hal yang menarik. Aku sangat menyukai perkembangan yang semacam ini. Ini seperti cerita-cerita manga JUMP. Dan ini adalah hal yang bagus, bukan begitu?”
Meski dia perempuan, kedua matanya terbakar seperti seorang lelaki.
“Dahulu kala, ada dua buah kekuatan besar yang memiliki prinsip keadilan berbeda. Karena kita ini meniru plot di manga shounen, akhirnya keduanya terlibat di sebuah pertempuran akhir.”
“Tapi kami berdua tidak sedang berada dalam manga shounen...”
Tampaknya tidak ada yang mempedulikan kata-kataku.
Sensei tertawa, dia menatap kami dan membuat sebuah pengumuman.
“Begini saja. Mulai sekarang, aku akan mengirimkan domba-domba bermasalah ke klub ini dimana kalian akan menangani mereka. Kalian berdua akan membantu mereka sesuai dengan cara kalian. Dan ini merupakan momen yang bagus untuk membuktikan kalau keadilan moral milik siapa yang paling benar. Siapakah yang bisa membantu orang-orang ini?! Gundam Fight. Siap, Go!!”
“Aku menolak.”
Yukinoshita langsung menolak usulannya. Kedua matanya terlihat sangat dingin, persis seperti sebelumnya. Karena aku setuju dengannya, akupun mengangguk. Tidak lupa kalau entah apa namanya gundam tadi, bukanlah sesuatu dari generasi kita.
Setelah melihat kami yang menolaknya, dia seperti hendak frustasi saja.
“Tsk. Mungkin Robattle lebih mudah dipahami...”
[note: Robattle itu ada di RPG Medabots. Dimana bisa bertarung dengan medabot lainnya.]
“Bukan itu masalahnya...”
Game seperti medabots itu sudah jadul...
“Sensei. Tolong berhentilah bersikap seperti anak kecil yang hiperaktif. Mungkin keren untuk seseorang yang seumuran dengan anda, tapi itu sangat buruk bagi kami.”
Yukinoshita seperti mengatakan kata-kata yang tajam setajam bongkahan es. Aku tidak tahu apakah sensei sudah ‘normal’ atau masih ‘status aneh’, tapi wajah sensei terlihat memerah karena malu. Dia lalu pura-pura terbatuk dan menjelaskan ulang.
“Be-begini! Satu-satunya hal yang membuktikan perkataan mereka benar adalah aksi mereka! Jika aku mengatakan kalian harus bertanding, maka kalian akan bertanding. Kalian berdua tidak punya hak untuk menolak.”
“Itu terlalu tirani...”
Dia ini persis seperti anak kecil! Satu-satunya hal darinya yang dewasa adalah dadanya.
“Agar kalian bertarung dengan serius, aku akan memberikan sebuah motivasi. Bagaimana kalau
yang menang bisa memerintahkan yang kalah apapun yang mereka inginkan?”
“Apapun itu?”
Kalau ‘apapun’, pastinya akan minta ‘itu’? Mustahil yang lain selain ‘itu’...
Tiba-tiba suara kursi yang digeser terdengar. Yukinoshita seperti bergerak dua meter ke belakang, melindungi tubuhnya seperti mengambil posisi bertahan.
“Bertarung melawan pria ini membuat kesucianku dipertaruhkan. Aku menolak.”
“Prejudice! Tidak semua siswa kelas 2 SMA akan selalu memikirkan hal itu! Ada banyak hal seperti, uh...Sebentar kupikir dulu!...Kedamaian dunia? Hal-hal semacam itu? Selain itu, kurasa aku tidak bisa memikirkan hal yang lain.”
“Jadi Yukinoshita Yukino sendiri takut...Apa kau takut kalah?”
Sensei mengatakan itu dengan wajah yang licik. Yukinoshita sepertinya tersinggung olehnya.
“...Baiklah. Meskipun, sebenarnya aku cukup terganggu dengan provokasi murahan. Kuterima. “
Woah, Yukinoshita pecundang yang buruk. Bagaimana bisa dia tipe yang takut kalah?
Hiratsuka-sensei seperti tersenyum dan menggerutu, lalu dia memalingkan wajahnya dari tatapan Yukinoshita.
“Kalau begitu, sudah diputuskan!”
“Hei, anda belum bertanya kepada saya apakah saya menerimanya...”
“Melihatmu tersenyum licik saja sudah menjelaskan mengapa aku tidak perlu bertanya kepadamu.” Begitu ya...
“Akulah yang akan memutuskan pemenang pertandingan ini. Tentunya, keputusan itu berdasarkan opiniku dan bias. Jangan terlalu dipikirkan dan bersikaplah seperti biasanya...Lakukan yang terbaik!”
Setelah mengatakan kata-kata itu, sensei meninggalkan ruangan. Meninggalkan Yukinoshita yang sedang menyilangkan lengannya dan diriku di belakang.
Tentunya, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ketika kesunyian melanda ruangan, suara dari radio pengumuman berbunyi. Itu adalah tanda kalau jam tutup sekolah sudah dekat. Menandakan akhir dari segala aktivitas sekolah di hari itu.
Dengan sinyal itu, Yukinoshita mengemas barang-barangnya seperti hendak pulang ke rumah. Setelah dia memasukkan semua bukunya ke tas, dia berdiri. Tanpa sedikitpun menoleh kepadaku, dia pergi begitu saja. Tanpa mengatakan ‘sampai jumpa besok’ atau ‘selamat tinggal’, dia berjalan begitu saja. Aku bahkan tidak sempat memanggilnya karena ekspresinya yang dingin itu.
Dan disinilah aku, satu-satunya orang di ruangan ini. Apa hari ini semacam hari sial atau semacamnya? Aku dipanggil ke ruang guru, lalu dipaksa bergabung dengan klub misterius, dan dibully secara verbal oleh seorang gadis yang hanya punya sisi manis...maksudku wajahnya yang manis. Dan akhirnya aku berakhir dengan menerima damage yang luar biasa.
Bukankah berbicara dengan seorang gadis harusnya membuat dirimu semakin antusias? Malahan hatiku seperti tenggelam semakin dalam.
Kalau tahu akan berakhir seperti ini, mungkin berbicara ke hewan setiap hari akan terasa lebih enak. Mereka tidak mengatakan sesuatu kepadamu dan selalu tersenyum. Kenapa aku tidak terlahir sebagai orang yang punya sifat hardcore masochist?
Dan yang terpenting, kenapa aku dipaksa ikut pertandingan yang tidak jelas? Dengan Yukinoshita sebagai musuhku, kupikir aku tidak akan menang. Aku membayangkan apakah sesuatu seperti pertandingan itu termasuk dalam kegiatan klub. Ketika aku membayangkan ‘aktivitas klub’, sesuatu seperti para siswa membentuk girl band seperti DVD yang kutonton tampaknya lebih menarik.
[note: Anime K-ON.]
Jika keadaannya terus begini, akankah kami berdua akan bisa bersama? Tampaknya tidak.
Dia mungkin akan memerintahku dengan gaya tata krama elit dan mengatakan ‘Napasmu bau, bisakah kau berhenti bernapas setidaknya selama 3 jam?’.
Seperti yang kuduga, masa muda hanyalah masa dimana penuh dengan kebohongan.
Setelah kalah dalam turnamen baseball di kelas tiga, mereka menangis untuk membuat suasananya menjadi indah. Setelah gagal dalam ujian masuk universitas, mereka mengatakan kegagalan itu hanyalah jadi pengalaman hidp saja. Setelah ditolak orang yang ditembaknya, mereka menghilang. Mereka menipu dirinya sendiri dengan sikap arogannya, mereka berpikir kalau yang mereka lakukan itu demi kebahagiaan orang tersebut.
Dan terjadilah kejadian tadi. Tampaknya, kehidupan komedi romantis masa muda antara diriku dengan gadis penyendiri dan menyebalkan yang memiliki sifat tsundere tidak akan terjadi. Seperti yang kuduga; masa muda itu penuh kepura-puraan, pengalihan isu, dan konspirasi.